Sabtu, 14 Februari 2009

Simbolis-Magis- Religius Taman Ujung

Makna Simbolis-Magis-Religius Arsitektur Taman Ujung .

Situs Peninggalan Arsitektur Raja Karangasem.





Sebelum berkunjung ke Taman Ujung, sebaiknya marilah kita buka pemikiran dan pemahaman akan historis –Religius akan konsep yang mengilhami dari hasil Maha Karya dari dibangunnya Taman Ujung. Untuk membuka semua itu tentunya mari kita masuk dari persoalan yang sangat mendasar akan hakekat dan ada kemauan memahaminya, dengan ini tentunya kita akan bisa menghargai peninggalan hasil karya seperti Taman Ujung. Dan dengan begitu akan terbuka Pemikiran , Apa…., mengapa….., kapan …, bagaimana …. Sehingga hasil karya tersebut bisa diwujudkan.


Taman Ujung Karangasem yang disebut juga Taman Sukasada, atau populer juga sebagai ''Water Palace'', terletak di tepi pantai Desa Ujung, Karangasem. Taman ini adalah salah satu bukti historis yang monumental dari kebesaran Kerajaan Karangasem di masa lalu. Berdasarkan hasil-hasil penyelidikan arkeologis-historis dapat diketahui bahwa taman ini adalah sebuah contoh hasil akulturasi budaya yang serasi antara arsitektur tradisional lokal (Bali) dengan arsitektur Eropa, yang memancarkan kearifan atau keungguhan lokal (local genius).

SANG Arsitek Otodidak Pendiri Taman Ujung Soekasada , salah seorang raja Karangasem, dengan kemampuan teknis-arsitektural dan estetik, telah berhasil memanfaatkan bentang alam dan lingkungan di sekitarnya yang berteras-teras, dengan gunung-gunung sebagai latar belakang alami, sumber air, sungai-sungai dan pesisir Pantai Ujung. Dalam pembangunan taman ini, sang raja kemungkinan basar telah menggunakan konsepsi kosmologi masyarakat Bali sebagai landasan ideologis. Secara kosmologis, pesisir pantai atau laut adalah bagian hilir atau muara (tebenan), adalah tempat menunggalnya segala kekuatan magis yang berasal dari gunung atau bukit, yang kemudian mengalir ke hilir melalui sungai-sungai, seakan-akan secara simbolis membagi-bagikan air kehidupan kepada masyarakat.


Selain itu, gunung adalah bagian hulu (luwanan) yang punya kekuatan adikodrati yang tak tertandingi. Sebaliknya, gunung juga tak selamanya merupakan kekuatan alam yang ramah, karena dapat menimbulkan bencana besar secara tiba-tiba, jika ekosistemnya terganggu. Menurut kosmologi masyarakat Bali dan juga masyarakat lainnya di nusantara, gunung adalah dunia arwah para leluhur yang punya kekuatan magis, yang dapat memberikan pengaruh baik-buruk kepada kaum kerabat atau masyarakat yang masih hidup. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika pengaruh agama Hindu telah meluas di daerah Bali, gunung juga dianggap sebagai tempat bertahtanya para Dewa, yaitu Dewa Gunung seperti Bhatara Gunung Agung, dll.

Demikianlah gunung menjadi suci dan sakral. Dengan berpedoman kepada konsepsi kosmologi itu, pendiri Taman Ujung telah berupaya untuk menyatukan dan memanfaatkan kekuatan-kekuatan yang terkonsentrasi di gunung -- kekuatan alam adikodrati, magis arwah leluhur, dan para Dewa -- untuk kepentingan pembangunan masyarakatnya. Dengan dasar ideologi ini, maka Taman Ujung dapat juga disebut sebagai ''Water Palace'' yang menyandang makna simbolis-magis-religius seperti yang tampak juga pada lambang kerajaan, yaitu Amerta Jiwa. Dari sisi lain, taman ini menjadi lebih signifikan lagi karena berada dalam bingkai segitiga sosiokultural -- Tirta Gangga, Puri Karangasem, dan
Taman Ujung.

Tidak mengherankan apabila dalam Perwujudan dari Pemilihan Lokasi, Penataan Lay Out, Penerapan dalam Arsitektur Bangunan dan Penggunaan Ornamen di Taman Ujung dijiwai oleh makna simbolisasi dan Nilai-Nilai Ritual Spiritual seorang Raja yang dilandasi oleh Agama Hindhu. Dan hal yang mendukung saat itu juga muncul hasil karya berupa Geguritan, Sinom dan Tembang-lagu yang mengambil sosok dari keagungan Arsitektur Taman Ujung.
Kontriutor : Komang Sugiarta, Diambil dari beberapa sumber.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template